Senin, 03 Juni 2013

Menghitung Biaya "Baik" dan Biaya "Jahat"

Bagaimana perilaku Anda dalam mengelola keuangan? Bagaimana sikap Anda dalam hal pengeluaran alias biaya? Apakah selama ini Anda peduli bahwa biaya pun bisa dipilah menjadi biaya baik dan biaya jahat?

Dalam realitasnya, tidak semua biaya bisa disebut jahat, dan juga tidak semua biaya adalah baik. Hakikatnya, biaya baik adalah ketika biaya tersebut dikeluarkan maka akan ada imbas produktivitas, baik secara finansial maupun non-finansial, namun ujung-ujungnya juga bisa memberikan hasil secara finansial. Bagaimana konkretnya?

Yang pertama dan utama adalah memahami anggaran pribadi Anda. Nah, selama ini berapa persen dari pendapatan Anda yang dipakai untuk membiayai pengeluaran? 50 persen? 70 persen? Atau malah di atas 100 persen? Jangan heran, ada juga kalangan yang pengeluarannya melebihi pendapatan per bulannya. Dengan kata lain, kalangan ini hidup dalam dunia ”gali lubang tutup lubang”.

Nah, yang dimaksud dengan memahami anggaran adalah, pastikan bahwa pendapatan Anda setiap bulan masih surplus. Terserah mau surplus berapa persen. Yang penting tetap surplus. Jika sudah demikian, maka langkah berikutnya adalah menelaah komponen pengeluaran. Di sinilah baru bisa diketahui mana pengeluaran alias biaya baik, dan mana pula biaya jahat. Seperti diutarakan di atas, biaya baik adalah ketika biaya tersebut bisa memberikan dampak produktivitas dan juga peningkatan aset Anda. Contoh yang paling sederhana adalah membayar angsuran rumah, di mana rumah tersebut untuk disewakan atau ditempati sendiri.

Biaya jahat
Bagaimana dengan biaya jahat? Masih dalam konteks rumah. Meskipun biaya yang Anda keluarkan adalah untuk membeli rumah, kalau rumah tersebut Anda diamkan saja, Anda malah mengeluarkan biaya dua kali. Yang pertama untuk mengangsur, yang kedua untuk merawat rumah.

Seperti sebuah gelas berisi separuh air. Anda bisa mengatakan bahwa gelas tersebut ”setengah kosong” dan ”setengah penuh”. Jika falsafah yang Anda anut adalah harta seperti gelas ”setengah kosong”, setiap biaya yang Anda keluarkan bisa berdampak menguras air dalam gelas. Artinya, harta Anda akan berkurang karena biaya yang Anda keluarkan tidak memberi implikasi terhadap bertambahnya harta.

Hal sebaliknya akan terjadi jika Anda menganggap harta yang Anda miliki saat ini berkategori gelas ”setengah penuh”. Maknanya, setiap biaya yang Anda keluarkan akan menjadi biaya baik karena bisa berpengaruh untuk menaikkan harta Anda. Contohnya adalah pembayaran angsuran rumah yang peruntukannya untuk disewa atau ditempati.

Selanjutnya adalah bagaimana mengorganisasi pengeluaran sehingga biaya baik bisa lebih banyak ketimbang biaya jahat. Ini dilakukan dengan memahami bahwa pengeluaran itu bisa dibagi untuk beberapa peruntukan, yakni untuk memenuhi kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer dalam hal ini adalah pangan, sandang, dan papan. Sementara kebutuhan sekunder dan tersier adalah keinginan untuk hidup lebih nyaman dengan terpenuhinya berbagai keinginan, misalnya rekreasi, nonton film, dan hobi.

Tidak ada yang keliru dengan semua itu. Dan semestinya, negara mampu membuat rakyatnya paling tidak memenuhi kebutuhan primernya. Jadi, yang kita telaah lebih lanjut adalah bagaimana mengatur biaya untuk memenuhi kebutuhan primer itu saja, yakni pangan, sandang, dan papan.

Soal papan, sudah dibahas di atas. Bagaimana dengan pangan dan sandang? Di sinilah sering kali terjadi pergeseran makna antara kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder atau tersier.

Ketika seseorang makan di restoran mahal, misalnya, itu sebenarnya bukanlah kebutuhan primer, dan bukan pula kebutuhan sekunder, melainkan kebutuhan tersier. Kebutuhan primernya adalah bisa makan dengan layak. Kebutuhan sekundernya adalah apa yang mau dimakan. Kebutuhan tersiernya adalah mau makan di mana?

Silakan cek perilaku Anda dalam pengeluaran biaya untuk pemenuhan kebutuhan ”pangan” tersebut. Berapa persen sebenarnya pengeluaran Anda yang terpakai untuk membiayai kebutuhan ”pangan” dalam makna kebutuhan primer, dan berapa persen untuk pemenuhan keinginan atas kebutuhan sekunder dan tersier.

Menghitung biaya
Bagaimana menghitungnya? Sederhana. Jika Anda makan nasi dan lauk dalam arti kebutuhan yang harus dipenuhi oleh semua orang adalah sekitar Rp 20.000 per porsi, sementara Anda mengeluarkan biaya sebesar Rp 100.000 per porsi karena makan di restoran, sesungguhnya yang Rp 20.000 merupakan biaya baik, sementara yang Rp 80.000 adalah biaya jahat. Anda menjadi konsumtif bukan untuk hal yang primer, melainkan untuk hal yang sekunder dan tersier.

Lantas hitung juga, berapa jumlah pengeluaran yang seolah-olah primer padahal bukan primer selama sebulan. Dengan contoh di atas, yang mestinya pengeluaran per hari hanya sebesar Rp 60.000, naik menjadi Rp 300.000. Bayangkan jika Anda bisa menghemat 50 persen-nya saja, itu berarti ada Rp 150.000 per hari atau Rp 4,5 juta biaya jahat yang bisa Anda hilangkan dan kemudian Anda pergunakan untuk membiayai aktivitas lain yang ujung-ujungnya bisa meningkatkan harta Anda.

Tentu masih banyak contoh lain dalam kehidupan sehari-hari, di mana banyak kalangan tidak menyadari bahwa sebagian biaya jahat sebenarnya bisa dihindari untuk kemudian dikonversi menjadi biaya baik, yang memberi da

Tidak ada komentar:

Posting Komentar